Bagaimana Posisi Akal dalam Agama Islam?


 FilosofisBagaimana posisi akal dalam Agama Islam? bahakn pernah ada berdebat tentang kemampuan akal dan posisinya di samping wahyu. Akal, menurut mereka, memiliki kemampuan-ke- mampuan mengetahui termasuk mengetahui Tuhan, seandainyapun wahyu tidak menginformasikan tentang-Nya. 

Karena teologi adalah ilmu keislaman yang bahasan utamanya adalah soal ketuhanan dan kewajiban- kewajiban manusia terhadap Tuhan, maka sumber utama pengetahuannya adalah wahyu dan akal. Wahyu sangat erat kaitannya dengan agama, sedangkan akal sangat berkaitan dengan filsafat. Dalam kaitannya dengan wacana bertuhan tanpa beragama, maka salah satu pengertiannya adalah mengenal Tuhan tanpa melalui agama atau wahyu.

Akal,    sebagai daya berpikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dan wahyu sebagai informasi dari alam adiko- drati turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan. Semua aliran dalam teologi Islam sebetulnya sepakat berpendapat bahwa akal manusia bisa sampai kepada Tuhan.

Yang menjadi persoalan selanjutnya: sampai di manakah kemampuan akal manusia dapat mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia? Dan sampai manakah besarnya fungsi wahyu dalam kedua hal itu?

Persoalan kekuasaan akal dan fungsi wahyu dihubungkan dengan dua masalah pokok yang masing-masing bercabang dua: masalah pertama ialah soal mengetahui Tuhan dan masalah kedua adalah soal baik dan jahat. Masalah pertama bercabang lagi menjadi dua: mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan (ḥus}ūl ma’rifah Allāh dan wujūb ma’rifah Allāh).

Masalah kedua bercabang dua lagi: mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat (ma’rifah al-ḥasan wa al-qābih dan wujūb i’tināq al-ḥasan wa ijtināb al-qābih, atau disebut at-taḥsin wa at-taqbih).

Menurut Mu’tazilah, segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang wajib dan menjauhi yang jahat adalah wajib juga.

Abū al-Hużail, an-Naz}z}ām, dan al- Jubā’ī dengan tegas mengatakan bahwa sebelum turunnya wahyu, orang telah berkewajiban mengetahui Tuhan, dan jika dia tidak berterima kasih kepada Tuhan, orang itu akan mendapat hukuman. Baik dan jahat, menurutnya, juga dapat diketahui dengan perantaraan akal. Jadi, orang wajib mengerjakan yang baik, umpamanya bersikap lurus dan adil, dan wajib menjauhi yang jahat seperti berdusta dan bersikap zalim.

Dari penjabaran pendapat tokoh-tokohnya, bisa disimpulkan bahwa Mu’tazilah berpendapat mengetahui Tuhan, berterima kasih pada Tuhan, mengetahui yang baik dan jahat serta mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat bisa dicapai oleh akal. Tidak hanya sebatas mengetahui dan kemudian mengerjakan yang baik, dan menjauhi menger- jakan yang jahat, kewajiban untuk itupun bisa dicapai oleh akal.

Hal itu bisa dilihat dari penjelasan asy-Syahrastānī berikut ini, “Wa attafaqu alā anna us}ūl al-ma’rifah, wa syukra an-ni’mati wājibatun qabla wurūd as-sam’. Wa al-ḥusn wa al-qubhu yajību ma’rifatuhumā bi-al- ‘aql. Wa i’tināq al-ḥasan wa ijtināb al-qābih wājibun każālik”

(mereka sepakat bahwa dasar-dasar pengetahuan, berterima kasih atas nikmat wajib sebelum datangnya wahyu. Kebaikan dan kejahatan harus diketahui lewat akal. Demikian juga memegang teguh yang baik dan menghindari yang jahat).”

Hal itu berarti bahwa pengetahuan tentang Tuhan atau ma’rifah Allāh (knowledge of Allah) bisa dicapai oleh akal. Ber-Tuhan tanpa agama dalam pengertian mencapai pengetahuan tentang Tuhan melalui pemikiran filsafat tanpa wahyu bisa dibenarkan oleh Mu’tazilah.

Menurut Asy’āriyah, mengetahui Tuhan memang bisa dicapai oleh akal bahkan hanya ini yang bisa diketahui akal. Tiga masalah yang lain, hanya bisa diketahui lewat wahyu, akal tidak bisa mengetahuinya.

Di sinilah perbedaan antara Mu’tazilah dan Asy’āriyah. Bagi aliran yang disebut pertama, keempat masalah tadi dapat diketahui dengan akal, sedangkan bagi aliran yang disebut belakang yang dapat diketahui akal hanya wujud Tuhan. Untuk yang lainnya diperlukan wahyu.5 Dari situ bisa disimpulkan bahwa bertuhan, dalam arti mengetahui wujud Tuhan, tanpa agama dalam arti tanpa lewat wahyu adalah mungkin menurut aliran Asy’āriyah. 

0/Post a Comment/Comments